Oleh: Bima Jatmika
INDONESIA TODAY ONLINE – “Anda bisa menipu sebagian orang sepanjang waktu, dan semua orang pada sebagian waktu, tapi Anda tidak bisa menipu semua orang sepanjang waktu”.
Ketika dunia meragukan kewarganegaraan Barack Obama, ia memilih langkah elegan dan tegas dengan mempublikasikan akta kelahirannya, lahir di Hawaii dan berkebangsaan Amerika. Seketika, badai tuduhan reda. Tapi di negeri ini, kala isu ijazah Jokowi mencuat, responnya justru mengandalkan adagium hukum “Siapa yang menuduh, Dialah yang harus membuktikan.” Sebuah jawaban legalistik, namun secara substansial tak menjawab keresahan publik.
“You can fool some of the people all of the time, and all of the people some of the time, but you cannot fool all of the people all of the time.”
Ucapan Presiden Amerika ke- 16 Abraham Lincoln ini menjadi pengingat penting bahwa kebenaran pada akhirnya akan terungkap, dan masyarakat tak bisa terus-menerus dibohongi. Ketika kejujuran dipertanyakan, kepercayaan pun runtuh.
Yang menuduh tak tinggal diam, mereka menggali, menganalisis, menyandingkan fakta, hingga menampilkan indikasi kuat kejanggalan. Namun tanpa kehadiran ijazah asli, isu ini terus bergulir liar. Bukankah lebih baik bagi seorang mantan kepala negara untuk menampilkan dokumen sah dan menutup rapat celah keraguan?
Jika tak ada yang disembunyikan, mengapa enggan menunjukkan? Dalam era demokrasi dan keterbukaan informasi, transparansi bukan sekadar etika, melainkan tanggung jawab moral.
Mengapa kegelapan dibiarkan berkuasa ketika satu dokumen dapat menjadi cahaya? Jika memang benar, mengapa takut terang? Transparansi adalah senjata pemimpin sejati.
Diam hanya memupuk ketidakpercayaan dan membuka ruang konspirasi. Sebuah bangsa tak selayaknya dipertaruhkan hanya karena secarik kertas yang tak kunjung ditunjukkan.
Jakarta, 15 Mei 2025