INDONESIA TODAY ONLINE-Aksi demonstrasi yang memuncak pada Agustus–September 2025 memperlihatkan bahwa kemarahan publik tidak lagi diarahkan semata pada isu politik atau ekonomi. Ketidakpuasan itu kini menyasar lembaga penegak hukum yang dinilai gagal menjaga integritas dan rasa keadilan. Tragedi ini semakin menggetarkan publik karena tercatat ada 11 orang meninggal dunia dalam rangkaian demonstrasi Agustus 2025, sebuah angka yang menunjukkan betapa seriusnya eskalasi konflik antara rakyat dan negara. Polisi, yang idealnya menjadi penjaga keadilan, justru berubah menjadi salah satu sasaran kemarahan massa.
Ketegangan publik diperparah oleh rentetan peristiwa yang mencoreng kredibilitas hukum, mangkirnya Silvester Matutina, membekunya kasus Firli Bahuri, serta kasus-kasus korupsi yang kian merajalela. Di tengah itu semua, pernyataan Presiden mengenai tanggung jawab negara atas utang kereta cepat Whoosh, dengan memperpanjang tenor hingga 60 tahun, justru dianggap sebagai tamparan bagi rasa keadilan rakyat. Kalimat “bertanggung jawab” memerlukan penjelasan yang eksplisit, bertanggung jawab dalam arti apa? Menanggung beban utang Whoosh atau sekadar lip service yang pada akhirnya menjadikan rakyat sebagai pihak yang menutup kerugian? Terlebih, kereta cepat yang diklaim sebagai kebanggaan nasional itu pada kenyataannya hanya dinikmati segelintir orang dengan tarif yang tidak terjangkau masyarakat luas.
Di sisi lain, pemanggilan dan penetapan tersangka terhadap Roy Suryo, Rismon, dan dr. Tifa menjadi salah satu pemicu utama ledakan kemarahan civil society. Publik menilai bahwa pasal-pasal yang dikenakan, mulai dari pencemaran nama baik, UU ITE, hingga pasal SARA, tidak relevan dengan pokok perkara, yakni dugaan keaslian ijazah. Kesan bahwa perkara ini digiring menjadi isu reputasi, bukan isu keabsahan dokumen, dipandang sebagai langkah yang naif, absurd, dan semakin menggerus kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Menariknya, gelombang protes di Indonesia ini justru menginspirasi Gerakan Reformasi Nepal. Mereka melihat bagaimana aksi massa di Indonesia mendorong evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola pemerintahan yang lebih baik, pemberantasan korupsi dan cara aparat keamanan bekerja dan bagaimana negara merespons tuntutan publik, lalu mencoba menyempurnakan semangat itu melalui penguatan mekanisme pengawasan publik, peningkatan akuntabilitas aparat, serta penegasan profesionalisme Polisi Nepal dalam kerangka reformasi yang sedang mereka jalankan. Sebagaian pengamat mengatakan, gagasan perubahan ini dengan ungkapan bahwa gerakan mereka adalah “terinspirasi dari Indonesia dan disempurnakan di Nepal.”
Di tanah air, tekanan publik akhirnya mendorong Presiden membentuk Tim Reformasi Polri, sebuah peluang strategis untuk memperbaiki kultur, struktur, dan akuntabilitas kepolisian. Namun reformasi hanya akan bermakna jika keberanian politik bertemu dengan kesediaan institusi untuk berubah secara substantif, bukan kosmetik.
Aksi-aksi Agustus 2025 mengingatkan kembali satu pesan mendasar, ketika hukum kehilangan legitimasi, rakyatlah yang menjadi korektor terakhir bagi jalannya negara.
Cibubur, 14 November 2025


