Mei 18, 2025
spot_img

Antara Keppres Terkait Istilah Cina dan Kebencian : Habaib dalam Pusaran Sosialisasi SARA dan Konflik Horizontal

 

Oleh: Bima Jatmika
Ketua Bidang Publikasi dan Media Aliansi Jawara & Santri se-Banten Raya -JASBARA-

INDONESIA TODAY ONLINE – Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 2014 tentang Penggunaan Istilah Tiongkok menggantikan istilah Cina menjadi langkah simbolik yang mencerminkan kehendak politik untuk menghapus jejak diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa. Kebijakan ini dikeluarkan di akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan pertimbangan bahwa istilah “Cina” telah digunakan secara peyoratif sejak masa Orde Baru, dan berkontribusi dalam menstigmatisasi etnis Tionghoa sebagai “lain” dalam tubuh bangsa.

Secara historis, istilah “Cina” memang lebih lama digunakan dalam literatur Indonesia, baik dalam bentuk serapan dari bahasa Sanskerta, Arab, hingga Portugis dan Belanda. Namun, penggunaan tersebut mengalami pembebanan makna negatif sejak rezim militer Orde Baru yang menempatkan etnis Tionghoa sebagai kelompok yang dipisahkan secara sosial, politik, dan budaya melalui kebijakan asimilasi paksa. Dalam konteks itulah, penggantian istilah menjadi “Tiongkok” dan “Tionghoa” bukan sekadar semantik, melainkan bagian dari rekonsiliasi historis.

Namun demikian, pengesahan Keppres ini tidak lepas dari kritik. Beberapa kalangan mempertanyakan urgensi dan intensi politik di balik langkah simbolik tersebut, terlebih karena dilakukan menjelang masa akhir jabatan SBY. Isu ini menjadi sensitif karena bersinggungan dengan politik identitas, diplomasi luar negeri (khususnya dengan RRT), dan sentimen nasionalisme yang berkembang pascareformasi.

Pasca Keppres tersebut, terutama dalam rentang 2014–2017, terjadi fenomena sistematis yang memperlihatkan kebangkitan retorika identitas. Berbagai ujaran kebencian, teori konspirasi soal dominasi ekonomi Tionghoa, hingga gerakan anti-imigran dan anti-asing mulai mendapatkan ruang di media sosial. Meskipun secara formal negara mengaku menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, penegakan hukum terhadap ujaran kebencian berbasis etnis tampak lemah dan inkonsisten. Dalam kondisi seperti ini, provokasi berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) menjadi semacam “senjata politik” yang efektif karena memicu respon emosional publik.

Saat ini, tren serupa kembali muncul dalam tiga tahun terakhir, namun dalam format yang lebih vulgar, terbuka dan sangat menjijikkan. Perdebatan seputar “nasab”, asal-usul etnis, dan identitas keagamaan kembali dimunculkan di ruang publik—bukan dalam semangat edukasi atau pelurusan sejarah, melainkan sebagai alat untuk merendahkan dan mendiskreditkan kelompok tertentu. Klaim-klaim budaya, historis, bahkan spiritual, kerap digunakan untuk membangun superioritas semu satu kelompok atas kelompok lain, termasuk terhadap komunitas keturunan Arab, khususnya para Habaib.

Sosialisasi kebencian ini menyebar melalui media sosial, kanal dakwah daring, hingga forum-forum komunitas, yang sering kali memproduksi narasi bahwa keberadaan Habaib adalah ancaman laten terhadap keaslian budaya lokal atau potensi dominasi sosial-politik.

Padahal, secara historis, Habaib memiliki kontribusi besar dalam penyebaran Islam di Nusantara dan dalam penguatan nilai-nilai keindonesiaan yang moderat. Ironisnya, mereka kini menjadi sasaran dari generalisasi dan kampanye kebencian yang dibungkus dengan retorika nasionalisme sempit atau tuduhan elitis dan feodalisme agama. Strategi semacam ini berbahaya karena tidak hanya memicu sentimen rasial, tetapi juga membuka ruang konflik horizontal yang mengancam kerukunan masyarakat lintas etnis dan agama.

Narasi tersebut menyusup ke dalam diskusi akademik, ceramah agama, hingga produksi konten media, dan tidak jarang diarahkan untuk membelah masyarakat berdasarkan garis primordial. Ketika simbol-simbol seperti istilah “Pribumi” atau “nasab Arab” diseret ke dalam politik identitas, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kohesi sosial, tapi juga stabilitas nasional.

Fenomena ini disebut oleh banyak sosiolog sebagai bentuk social drive menuju konflik horizontal—yakni dorongan sosial kolektif yang dipicu oleh provokasi identitas untuk menciptakan perpecahan dan kekacauan. Negara, dalam hal ini, memiliki tanggung jawab konstitusional untuk hadir bukan hanya sebagai penengah, tetapi sebagai pelindung prinsip-prinsip kewarganegaraan yang setara. Penanganan terhadap ujaran kebencian, provokasi berbasis etnis, dan manipulasi sejarah harus dilakukan secara tegas dan merata, bukan selektif.

Dengan demikian, perbandingan antara Keppres SBY dan situasi kini memperlihatkan ironi: dahulu negara proaktif dalam menata simbol demi menjaga sensitivitas sosial, tetapi kini negara justru tampak pasif di tengah meningkatnya provokasi berbasis identitas. Ruang publik tidak boleh dibiarkan dikuasai oleh narasi kebencian yang dibalut wacana budaya. Justru negara, akademisi, tokoh masyarakat, dan media harus bersama-sama merawat memori kolektif yang inklusif—agar perbedaan menjadi kekayaan, bukan alasan untuk perpecahan.

Jakarta, 20 April 2025

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru

sakarya bayan escort escort adapazarı odunpazarı escort