Inilah sekelumit kisah antiklimaks seorang dai muda yang namanya melejit tenar justru karena sikap dan pandangannya yang inklusif serta toleran kini nyaris setipe dengan para ustadz intoleran lainnya.
Kalau seseorang yang dikenal ustadz atau kyai merasa bebas membicarakan (lebih tepat : menggunjingkan) sebuah mazhab, maka penganutnya pantas pula membincangkan dan mengkritik mazhab yang dianut ustadz itu. Itulah konfrontasi yang bisa menimbulkan ketegangan dan konflik yang melemahkan umat Islam.
Namun karena menganut sebuah mazhab mestinya menganut logika dan etika juga, maka membanggakan mazhab sendiri di hadapan massa atau jamaah semazhab dan mengggunjing mazhab lain, apalagi dibumbui dengan klaim kontradiktif “pernah menganut mazhab itu”, dan pada saat yang sama mengaku tidak menganutnya karena menolak doktrin fundamentalnya lebih mirip menjual barang kepada orang yang telah membelinya.
Pernyataan ustadz sejenis ini hanya bisa dipahami sebagai pencitraan diri agar terlihat sangat pandai karena sempat mengutarakan beberapa info umum tentang mazhab yang diketahui oleh awam yang melek google.
Pencitraan lazimnya dilakukan demi mempertahankan dan menambah kekaguman massa yang mengaguminya. Namun, bila memperhatikan perubahan konten ceramahnya, pencitraan ini dilaklukan demi memberikan isyarat dan tanda perubahan pandangan kepada pihak tertentu yang sangat keberatan terhadap sikap tolerannya dan menekannya.
Sangat mungkin dia tahu bahwa dalam komunitas Syiah ada cukup banyak orang yang bisa diajak dialog dan adu argumen secara terbuka membahas isu keyakinan yang menjadi alasan keberatannya bila memang motifnya adalah klarifikasi.
Tentu saja berdialog terbuka dengan moderator dan penyelenggara yang independen serrta fair dengan penganut mazhab yang digunjingnya dan sangat mungkin familiar dengan literatur mazhab sang ustadz bisa berdampak negatif terhadap posisinya di tengah umatnya di dunia offline dan online, apalagi mazhabmya selalu jadi target utama penyesatan dan pengkafiran. Sudah banyak yang terpaksa pensiun dini akibat berpandangan toleran.
Terlepas dari itu semua, mempertahankan keyakinan atau menolak keyakinan lainnya, bahkan membanggakannya adalah hak individu. Tapi yang takkan pernah menjadi hak bagi siapapun adalah mengadili sebuah keyakinan baik agama maupun mazhab secara absentia di hadapan jamaah semazhab. Tak perlu jadi ustadz untuk memahami etika dasar ini.
Seustadz apapun seseorang bagi umatnya bukanlah siapa-siapa bagi yang selain umatnya. Kerendahan hati mengungguli ketenaran dan banyaknya penggemar. Sering kali gemuruh pujian membuat seseorang lupa batas kemampuan dan batas hak dirinya di tengah kemajemukan.
Karena yang tak punya kemuliaan, maka tak mulia. Karena tak mulia tak memuliakan selainnya. Karena tak memuliakan selainnya, menghinanya. Tanda kemuliaan seseorang atau kelompok adalah memuliakan selainnya. Sebuah individu atau bangsa, suku, ras, etnis dan komunitas apapun tak akan menjadi mulia dengan menghina lainnya.
Konon di gerbang kota Kairo terpampang poster besar bertuliskan “Yang sepertimu banyak.” Mungkin ustadz ini perlu piknik lebih jauh.
ML 190122