Sebuah channel youtube yang semula dianggap sebagai media yang merdeka dan netral berubah menjadi channel buzzer dan dealer kubu politik yang kerap diasosiasikan pada nasionalisme pada pemilu lalu dengan jargon anti radikalisme dan politisasi agama. Jelang pilpres 2024, channel ini menjadi tivi timses capres. Sampai di sini kita masih bisa memaklumi, karena politik juga perlu logistik dan pemodal.
Harapan channel ini bisa menjadi media pencerah pun kandas ketika mulai menyerang kandidat rival dengan narasi beraroma rasisme. Mestinya para narsumnya melakukan edukasi politik yang bernoral dengan mengembalikan perhatian publik ke substansi pandangan dan sepak terjang sosok yang dikritisinya secara rasional, profesional dan proporsional demi mempertahankan kebhinnekaan sebagai takdir bangsa yang besar ini dan demi mempertahankan keadilan bagi setiap warga negara, apapun keyakinan dan asal usulnya. Rupanya comment-comment pujian dan pujaan membuatnya pongah dan menutup diri dari kritik. Belakangan mulai berlagak CNN cawe-cawe urusan domestik negara lain.
Salah satu yang paling sering diklaim oleh channel ini adalah perlawanannya terhadap politik identitas demi menjustifikasi upaya menjegal capres yang dianugerahinya gelar Bapak Politik Identitas.
Sayangnya, channel ini secara sengaja menyebarkan narasi reduktif bahwa identitas dalam konteks politik hanyalah agama dan bahwa hanya satu kubu saja yang menggunakannya. Padahal identitas meliputi etnisitas personal dan impersonal berupa kesukuan, kedaerahan dan kebangsaan. Tapi yang lebih parah dari itu, tivi ini menentang politik identitas sekaligus mempraktikkannya. Ia sukses menjadi Channel Politik Identitas.
Di channel ini ada narasumber yang diplot sebagai spesialis narasi parodik yang kerap memplesetkan dan menyisipkan cemooh beraroma rasisme. Mungkin, karena dikemas seolah stand up comedy, dia mengira tindakannya sah secara moral dan legal, atau merasa mewakili suara kontra “kadrun”, merasa bebas.
Sebenarnya dalam disiplin ilmu komunikasi serangan yang berlebihan (karena tak menyisakan secuilpun penghormatan) mengafirmasi rasa ketakutan yang berlebihan pula. Paranoid ini mencerminkan pengakuan implisit atas pengaruh besar objek yang didiskreditkan.
Audien cerdas yang sepaham dengan pandangan politik para narator channel itu justru mengkhawatirkan serangan serial dalam ragam konten ini malah memberikan kredit kepada sosok yang ditarget, paling tidak dalam pemberitaan dan ekspos. Promo gratis, begitu istilah populernya.
Di sisi lain, sangat mungkin audien yang tak mendukung narasi channel ini makin mendukung dan bersimpati kepada sosok idolanya yang terlihat santai dan abai terhadap gempuran narasi itu.
Channel ini memang top. Salah satu buktinya adalah keberhasilan membakukan kata cemooh “kadrun” (kadal gurun atau orang-orang keruh pikiran, versi channel ini) sebagai stigma untuk siapa saja yang tak sepandangan dan se-capres. Ini mirip dengan stigma sesat yang ditempelkan pada siapa saja yang tidak menyesatkan kelompok minoritas seagama.
Meski sudah terlanjur partisan dan jadi panggung para bohir, kita masih berharap channel ini menjadi media netral, independen dan menjunjung tinggi kesetaraan serta kebhinnekaan.
ML 3012023