INDONESIA TODAY- Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengungkap Kota Depok menduduki peringkat 94 atau peringkat terakhir Index Kkota Toleran 2021 dengan skor 3,577. Posisi pertama atau kota paling toleran diraih Singkawang dengan skor 6,483.
Menurut Ismail kepemimpinan kepala daerah menjadi salah satu faktor signifikan yang membuat sebuah kota jadi toleran atau sebaliknya.
“Jadi lawan dari pemimpin-pemimpin yang toleran adalah pemimpin-pemimpin yang intoleransi. Dan itu terjadi di Depok, kita bisa melihat bagaimana tidak terbukanya kepala daerah Depok terhadap kemajemukan,” papar Ismail kepada wartawan di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (30/3).
Ia menjabarkan, permasalahan utama yang menjadikan Depok kota paling intoleran adalah produk hukum yang diskriminatif. Padahal, aspek tersebut memiliki bobot besar penilaian.
“Pertama adalah adanya produk-produk hukum yang diskriminatif, existing dan efektif dijalankan pemerintah,” ujar Ismail.
Terlebih, permasalahan yang menyebabkan Depok menjadi kota paling intoleran adalah tindakan politik Wali Kota Depok.
“Bukan hanya di level aturan yang itu bobotnya 20 persen, tapi juga tindakan politik Walkot yang tidak toleran,” ucap Ismail.
“Jadi bisa bayangkan atas dasar perintah Walkot, gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba sebuah masjid disegel gitu, ini kan problem,” sambungnya.
Lebih jauh, Ismail menyampaikan bahwa penurunan index toleransi di Depok dipengaruhi oleh proses segregasi atau pemisahan yang terjadi 20 tahun terakhir. Segregasi ini mengarah pada proses penyeragaman yang berbasis pada agama dan moralitas.
Hal ini bahkan ditunjukkan melalui ruang publik yang bernuansa religius seperti sektor properti dengan perumahan Muslim.
“Jadi di Depok warna religiusitas agama which is Islam itu sangat dominan mewarnai banyak ruang-ruang publik. Itu bagian dari proses segregasi yang dipicu oleh kepemimpinan politik di tingkat lokal,” papar Ismail.
Meski demikian, ia menyebutkan bahwa elemen masyarakat sipil menjadi faktor penyelamat penilaian toleransi di Kota Depok. Ia melihat beberapa masyarakat sipil mendorong promosi toleransi dalam kehidupan sehari-hari.
“Tapi itu tidak bisa membantu [penilaian] pada variabel produk hukum daerah, RJPMD, dan kepemimpinan politiknya,” tegasnya.
Riset yang dilakukan SETARA Institut mempertimbangkan empat variabel dengan delapan indikator sebagai tolak ukur berbasis paradigma hak konstitusional warga sesuai hak asasi manusia (HAM).
Variabel pertama adalah regulasi pemerintah dengan indikator RPJMD dan kebijakan diskriminatif. Selanjutnya adalah tindakan nyata dengan indikator pernyataan dan tindakan nyata pemerintah kota.
Kemudian, variabel ketiga Regulasi Sosial mencakup indikator peristiwa intoleransi dan dinamika masyarakat sipil. Dan variabel keempat Demografi Sosial- Agama meliputi indikator heterogenitas dan inklusi sosial.
Selain itu, Ismail mengatakan pihaknya juga menyebar quesioner kepada masyarakat untuk meminta yang pendapat soal toleransi di 93 kota. SETARA Institute juga melakukan penilaian dengan melihat pemberitaan di media soal kasus dan penerapan produk peraturan daerah.
Dari hasil assesment tersebut, terdapat 10 besar kota paling toleran di Indonesia, yakni Kediri dengan 5,733 poin, Surakarta 5,783 poin, Bekasi 5,830 poin, Ambon 5,900, Magelang 6,020 poin, Tomohon 6,133, Kupang 6,337, Salatiga 6,367, Manado 6,400, dan nomor satu Singkawang dengan 6,483 poin.
Ismail mengatakan hasil penilaian dari SETARA Institute biasanya bakal digunakan oleh pemerintah daerah untuk memperbaiki RPJDM hingga alokasi anggaran agar bisa menjadi kota toleransi.