INDONESIA TODAY ONLINE – SOLO – Aksi demonstrasi di depan rumah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, pada Rabu, 16 April 2025, menyisakan cerita yang mengundang keprihatinan. Aksi yang digelar oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) tersebut bertujuan untuk menuntut klarifikasi langsung dari Jokowi terkait dugaan ketidakjelasan ijazah Universitas Gadjah Mada (UGM) miliknya. Namun, di balik tujuan aksi yang mengedepankan transparansi tersebut, muncul insiden yang disinyalir sebagai bentuk persekusi terhadap salah satu peserta aksi, Farid Umar Assegaf, dan rekannya.
Farid Umar Assegaf, seorang aktivis 98 yang dikenal vokal dalam membela masyarakat kecil, memberikan kesaksian mengejutkan kepada awak media. Menurutnya, saat ia bersama rombongan TPUA tiba di kawasan Sumber, lokasi kediaman Jokowi di Solo, ia dipersekusi oleh beberapa orang yang diduga merupakan pendukung Jokowi.
“Waktu itu saya berjalan paling depan membawa megaphone. Begitu melihat saya, seorang pria yang saya kenal sebagai Silvester—yang dulu pernah berdebat panas dengan Rocky Gerung di televisi—langsung mendekat dan menjambak saya. Ikat kepala saya ditarik paksa,” ungkap Farid.
Ia melanjutkan bahwa pria tersebut tidak sendiri. Ada dua orang lain yang disebut Farid bertubuh besar dan terlihat intimidatif. “Mereka menyampaikan ancaman bernada rasis, bahkan salah satu di antaranya mengancam akan membunuh saya dan membuang mayat saya. Mereka juga sempat menyebut bahwa mereka dibekingi oleh orang-orang kuat,” lanjutnya dengan nada tegas.
Kericuhan itu membuat suasana memanas. Salah satu rekan Farid, yang disebutnya sebagai Mas Othok, mencoba melerai, namun justru ikut menjadi korban kekerasan. “Dia juga dipersekusi. Ini bukan hanya serangan fisik, tapi sudah mengarah pada teror terhadap kebebasan menyampaikan pendapat,” tutur Farid.
Farid berharap insiden ini tidak dianggap sepele. Menurutnya, dalam negara demokrasi, aksi damai seharusnya dilindungi dan tidak dibungkam dengan intimidasi, apalagi kekerasan fisik. “Saya ingin kasus ini menjadi perhatian publik dan penegak hukum. Jangan sampai praktik-praktik persekusi seperti ini dibiarkan berulang,” ujarnya.
Latar Belakang Aksi TPUA
Aksi yang dilakukan oleh massa TPUA di Solo merupakan lanjutan dari rangkaian desakan terhadap Presiden Jokowi untuk memberikan klarifikasi mengenai keaslian ijazahnya, terutama yang berasal dari Universitas Gadjah Mada. Sebelumnya, TPUA sempat mendatangi pihak UGM untuk mencari informasi yang lebih akurat.
Massa aksi datang secara damai dan menyampaikan aspirasi di depan rumah Jokowi. Namun, situasi menjadi sensitif mengingat aksi tersebut menyentuh isu yang sudah lama menjadi polemik di tengah masyarakat. Permintaan untuk menunjukkan ijazah asli bukan pertama kali disuarakan, dan kembali mencuat setelah sejumlah pihak mengklaim adanya kejanggalan administratif dalam dokumen akademik Jokowi.
Respon Jokowi: Empat Pernyataan Kunci
Menanggapi aksi dan tudingan tersebut, Presiden Jokowi akhirnya memberikan pernyataan resmi kepada media. Dalam keterangannya, ia menyampaikan empat poin penting:
– Tidak Ada Kewajiban Menunjukkan Ijazah Asli
Jokowi menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki kewajiban hukum untuk memperlihatkan ijazah asli kepada TPUA atau pihak mana pun, selain lembaga yang berwenang.
– Siap Menunjukkan Jika Diminta Pengadilan
Namun demikian, Jokowi menyatakan kesiapannya untuk menunjukkan dokumen asli apabila diminta secara resmi oleh pengadilan dalam proses hukum yang sah.
– Penyerahan Dokumen oleh Ajudan
Dalam kesempatan tersebut, ajudan Jokowi, Kompol Syarif, membawa dua map berisi dokumen pendidikan Presiden. Map pertama yang berwarna hitam berisi salinan ijazah SD Negeri Tirtoyoso, SMP Negeri 1 Solo, dan SMA Negeri 6 Solo. Sedangkan map kedua yang bergambar logo UGM berisi ijazah strata satu milik Jokowi yang menunjukkan kelulusan tahun 1985. Dokumen tersebut sempat diperlihatkan kepada awak media, namun Jokowi mengingatkan, “Jangan difoto ya.”
– Pertimbangan Tempuh Jalur Hukum
Jokowi menutup pernyataannya dengan menyatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan untuk menempuh jalur hukum guna melawan tudingan yang menurutnya sudah menjurus pada fitnah dan mencemarkan nama baik pribadi serta keluarganya.
Peristiwa aksi ini semakin menjelaskan kepada kita begitu buruk wajah demokrasi negeri ini.
Di satu sisi, masyarakat sipil berupaya mengawal transparansi dan akuntabilitas pemimpin negara, namun di sisi lain, masih terdapat ancaman terhadap kebebasan menyampaikan pendapat secara terbuka. Dugaan persekusi terhadap Farid Assegaf dan rekan-rekannya merupakan alarm bahwa kebebasan sipil masih belum sepenuhnya aman di negeri ini.
Penting bagi seluruh elemen bangsa—baik pemerintah, aparat, maupun masyarakat—untuk menegakkan prinsip supremasi hukum dan menjamin keamanan warga dalam menyuarakan aspirasi. Tanpa itu, demokrasi hanya akan menjadi formalitas tanpa substansi.