INDONESIA TODAY ONLINE -Makam Sunan Bonang, salah satu situs bersejarah yang menjadi bagian penting dari sejarah dan budaya Indonesia, telah menjadi pusat kontroversi sejak beberapa dekade terakhir. Tuduhan adanya perubahan dan framing bahwa makam ini telah “di-Ba’alawikan” mencuat, namun sejumlah fakta menunjukkan kronologi yang berbeda. Berikut rangkaian peristiwa yang melibatkan pengelolaan makam ini sejak 1998 hingga kini.
Awal Perubahan Pengelolaan Makam Sunan Bonang
Pada tahun 1998, reformasi mengguncang Indonesia dengan pergantian rezim dari Orde Baru ke era Reformasi. Di tengah perubahan ini, pengelolaan makam Sunan Bonang yang sebelumnya dilakukan secara perorangan beralih ke pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Tuban, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992. Pada masa itu, Bupati Tuban dijabat oleh Bapak Hendarto.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 adalah undang-undang yang mengatur mengenai Benda Cagar Budaya (BCB) di Indonesia. UU ini telah digantikan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, namun poin-poin penting dalam UU Nomor 5 Tahun 1992 tetap relevan untuk memahami pengelolaan cagar budaya sebelum adanya undang-undang baru.
Di tahun yang sama, Pemkab Tuban mengontrakkan pengelolaan makam Sunan Bonang kepada Yayasan Mabarrot Sunan Bonang (YSMB) untuk periode 1998-2003. Kesepakatan ini diikat melalui perjanjian resmi.
Berakhirnya Kontrak dan Konflik Pengelolaan
Ketika kontrak berakhir pada tahun 2003, terjadi pergantian kepemimpinan daerah. Bupati baru, Haeny Relawati Rini Widyastuti. Beliau menjabat sebagai Bupati Tuban ke-51 selama dua periode, yaitu 2001–2006 dan 2006–2011 dan memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak dengan YSMB. Namun, YSMB menolak menyerahkan pengelolaan makam kepada Pemda dan tetap mengelola situs bersejarah tersebut secara sepihak tanpa dasar kontrak yang sah.
Renovasi dan Protes Masyarakat
Pada tahun 2010, YSMB memutuskan untuk melakukan renovasi bangunan makam Sunan Bonang, yang merupakan cagar budaya. Langkah ini memicu reaksi keras dari masyarakat, yang memprotes tindakan tersebut sebagai perusakan situs sejarah. Puncaknya terjadi pada tahun 2013, di mana protes meluas di kalangan masyarakat Tuban.
Pada tahun yang sama, seorang warga secara pribadi melaporkan kasus perusakan cagar budaya ini kepada Polres Tuban.
Namun, laporan tersebut tidak menemui kejelasan dan berhenti pada tahap gelar perkara. Hingga kini, kasus tersebut sudah berlalu lebih dari 12 tahun tanpa penyelesaian yang berarti.
Isu Pemba’alawian dan Klarifikasi
Belakangan, muncul isu yang menyebutkan bahwa makam Sunan Bonang telah “di-Ba’alawikan.” Namun, pihak yang bersangkutan secara tegas menyatakan bahwa tuduhan ini tidak benar. Berdasarkan kronologi di atas, tindakan perusakan dan perubahan makam justru dilakukan oleh YSMB selama periode pengelolaan mereka.
Kontroversi pengelolaan makam Sunan Bonang ini menjadi pengingat penting akan perlunya pengawasan ketat terhadap pengelolaan situs sejarah dan budaya. Hingga kini, kasus ini masih menjadi bahan diskusi di tengah masyarakat, dengan harapan ada langkah konkret dari pihak terkait untuk menyelesaikannya secara adil dan transparan.
Tuban, 14 Januari 2013