Okt 24, 2025
spot_img

Nativisme dan Polemik Penamaan: Membongkar Narasi “Deislamisasi” di Balik Jubah Kearifan Lokal

 

Gerakan nativisme yang mengusung jargon “pelestarian budaya” mulai menunjukkan wajah ambigu. Di satu sisi, mereka mengklaim membela identitas lokal, tetapi di sisi lain, secara halus menggiring agenda

deislamisasi dengan mulai menargetkan nama-nama bernuansa agama seperti Muhammad dan Abdullah sebagai “produk asing”. Fenomena ini bukan sekadar persoalan kultural, melainkan cermin ketegangan politik-identitas yang kompleks. Pertanyaan mendasarnya: siapa yang berhak mendefinisikan “keaslian” budaya, dan atas dasar apa klaim itu dilegitimasi?

Akarnya: Romantisisme Budaya atau Kecemasan Sosial yang Dibalut Politik?

Klaim bahwa nama Arab “mengikis” nama lokal seperti Ujang atau Asep di Sunda kerap dibungkus retorika luhur tentang pelestarian tradisi. Namun, di balik retorika itu, mungkin tersembunyi kecemasan terhadap perubahan sosial—globalisasi, urbanisasi, atau dominasi wacana keagamaan tertentu di ruang publik. Nativisme menjadi alat untuk menciptakan **batas imajiner** antara “kita” (pribumi) dan “mereka” (asing), meski sejarah Nusantara membuktikan bahwa budaya kita selalu cair, menyerap pengaruh Hindu-Buddha, Islam, hingga kolonial.

Pertanyaan Krusial:

1. Benarkah Nama Arab “Asing” di Indonesia?

Islam telah menyatu dengan budaya Nusantara selama berabad-abad. Nama seperti Muhammad atau Abdullah tidak lagi sekadar “impor Timur Tengah”, melainkan telah mengalami lokalisasi dan menjadi identitas masyarakat Muslim Indonesia. Di Jawa, misalnya, nama “Muhammad Slamet” atau “Abdullah Suharto” adalah bukti harmoni antara tradisi Islam dan lokal.

2. Mengapa Nama Sunda dan Arab Dipertentangkan?

Banyak orang Sunda Muslim menggunakan kedua jenis nama secara berdampingan: “Muhammad Ujang”, “Abdullah Asep”, atau “Siti Nurbaya”. Ini bukan penggerusan, melainkan **adaptasi kreatif** yang menunjukkan dinamika budaya.

Reduksionisme Budaya: Mengabaikan Akar Sejarah yang Hibrid

Gerakan ini terjebak dalam logika reduksionis—memandang budaya sebagai entitas statis yang harus “dimurnikan”. Padahal, budaya Sunda sendiri adalah mosaik hasil akulturasi. Bahasa Sunda menyerap kosakata Arab (misal: *kitab*, adab) dan Sanskrit (mandala, darma). Beberapa Nama lokal Sunda diduga berakar dari Arab, seperti Usep* dari Yusuf (يوسف, nama Nabi). Bahkan kata “asli” tidaklah asli lokal alias terserap dari bahasa Arab. Tanpa serapan dari bahasa Arab, bahasa Indonesia kehilangan banyak sekali kosa kata yang tak punya padahan dalsm bahasa lokal.

Jika logika “pemurnian” diterapkan konsisten, apakah kita harus menghapus nama Sanskrit seperti Aditya atau Dewi yang juga “bukan asli Sunda”?

Agenda Terselubung: Politik Identitas dan Pengalihan Isu

Serangan terhadap nama bernuansa agama sering dimotivasi agenda politik:

1. Mengalihkan Isu Publik: 

Ketika pemerintah gagal menangani kemiskinan atau korupsi, isu budaya diangkat untuk mengalihkan amarah rakyat. Contoh: di India, gerakan Hindutva menyerang nama Muslim sebagai “non-India” untuk mengonsolidasi dukungan politik.

2. Membangun Narasi Mayoritas Palsu:

Dengan menstigma nama tertentu sebagai “asing”, kelompok nativis menciptakan ilusi “mayoritas asli” yang terancam. Padahal, di Jawa Barat, 97% penduduknya Muslim—apakah mereka semua “kurang Sunda” karena menggunakan nama Arab?

Solusi: Merayakan Hibriditas, Menolak Dikotomi Semu

Alih-alih terjebak dalam dikotomi “lokal vs asing”, kita perlu:

1. Mengakui Budaya sebagai Proses Dinamis:

Nama adalah kanvas sejarah tempat tradisi bertemu. Di Bali, “Gede” (lokal), “Komang” (Sanskrit), dan “Nyoman Muhammad” hidup berdampingan tanpa konflik.

2. Memisahkan Agama dari Hegemoni Politik: 

Nama bernuansa agama tidak mencerminkan loyalitas politik. Memolitisasi nama sama absurdnya dengan menyangka seseorang pro-AS hanya karena bernama “John”.

3. Menguatkan Literasi Sejarah:

Masyarakat perlu diingatkan bahwa Sunda pra-Islam pun sudah menyerap pengaruh Hindu-Buddha. Pemurnian budaya adalah ilusi.

Penutup: Pribumi Bukan Soal Nama, Tapi Integritas

Serangan terhadap nama seperti Muhammad atau Abdullah bukan sekadar soal budaya, melainkan upaya merusak kohesi sosial. Ironisnya, banyak koruptor dan oligark berlabel “nama pribumi” justru merampok hak rakyat. Keaslian nama tak menjamin kemuliaan sikap.

Sebagai bangsa yang berdiri di atas *Bhinneka Tunggal Ika*, sudah saatnya kita melihat keragaman nama sebagai kekayaan, bukan ancaman. Layaknya wayang yang memadukan cerita India dengan filosofi Jawa, nama-nama kita adalah cermin sejarah panjang Nusantara—tempat berbagai peradaban bertemu, bukan bertarung.

Pertanyaan Terakhir: Jika budaya Sunda bisa menerima wayang yang berakar dari India, mengapa nama Arab yang telah berasimilasi selama ratusan tahun tiba-tiba dianggap “asing”?

ML13052025

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru

sakarya bayan escort escort adapazarı odunpazarı escort