Okt 10, 2024
spot_img

Perang Nasab: Menakar Kesombongan Sayyid Habib dan Keangkuhan Sayyid Gus

Oleh: Zulhaimy Hasyim

Perang nasab antara oknum dzuriyah Nabi di Indonesia masih berkecamuk di medsos hingga tulisan ini dibuat. Saling bantah dan saling hujat antar oknum kedua kubu sadah (para sayyid) itu terus berlangsung dan melebar ke berbagai front sektarian dan rasisme.

Konflik antar dua kubu ekstremis yang bisa kita sebut Habib Bahar cs vs Gus Gahar (Kiai Imaduddin) cs ini, juga berupaya menyeret beberapa negara asing antara lain Maroko, Jordan, Irak, Yaman, Uzbekistan, dan Iran untuk terlibat.

Perang itu bermula dari “penelitian” Kiai Imaduddin Usman terhadap nasab Ba Alawi (habaib). Menurut pengakuannya, penelitian itu didasari oleh rasa marah dan kecewa atas keberadaan beberapa oknum habib yang sering berkoar-koar sebagai cucu Nabi namun berperilaku buruk. KH. Imaduddin meragukan mereka keturunan Nabi. “Jauh panggang dari api”, kata Kiai Imaduddin penuh amarah saat menceritakan hal yang memotivasi dirinya melakukan penelitian yang ia klaim ilmiah itu.

Hasilnya, kiai politisi yang pernah menjadi anggota FPI dan calon bupati Tangerang itu, tiba pada kesimpulan bahwa nasab semua Ba Alawi, baik yang berperilaku buruk seperti Habib Bahar bin Smith dkk maupun yang berakhlakul karimah seperti Habib Luthfy bin Yahya, Habib Abu Bakar Al-attas Al-Zabidy, Habib Jindan bin Novel, Habib Husein Ja’far Al-Hadar, Prof. Quraish Shihab dll, ternyata nasabnya terputus alias batil.

Dengan demikian, jutaan Ba Alawi (termasuk Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad Sohibul Rotib, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi penulis Simtud Durror, Habib Husein Alaydrus Luar Batang, Habib Soleh Alhamid Tanggul dll,) merupakan sayyid palsu alias pencatut nasab.

Meski kesimpulan Kiai Imad itu membuat kurang nyaman para Ba Alawi baik-baik pembenci Habib Bahar, sebenarnya pengingkaran nasab itu tidak terlalu bermasalah. Hak setiap orang untuk mengakui dan tidak mengakui keabsahan nasab. Dosa mengaku-ngaku dan mengingkari nasab ditanggung oleh masing-masing orang.

Bagi jutaan Ba Alawi di Indonesia yang tidak pernah mengkapitalisasi nasab (yang mereka itu bekerja sebagai buruh pabrik, karyawan swasta, ASN, pengemudi taxi, dosen, jurnalis, fotographer, akuntan, dokter, arsitek, developer, pengusaha warung soto, anggota TNI dan Polri, musisi, dll), pengakuan dan penolakan keabsahan nasab tak ada pengaruhnya bagi kehidupan mereka. (Dan para Gus Gahar tidak paham bahwa banyak Ba Alawi yang berseberangan dengan Habib Bahar bin Smith. Mereka muak dengan perilaku buruk Habib Bahar bin Smith yang mengangkangi kesayyidan, seolah-olah hanya dia sendiri yang keturunan Nabi.

Banyak Ba Alawi yang jengah melihat kepremanan dan kesombongan Habib Bahar bin Smith dengan segala tingkahnya, namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Rabithah Alawiyah juga tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi di bawah kepemimpinan Habib Taufik Assegaf yang kolot, kurang terpelajar, dengan pemikiran yang cenderung kaku dan gaya yang terkesan tinggi hati; tidak mencerminkan adab dan akhlak Tarekat Alawiyah yang penuh kelembutan dan kehati-hatian dalam bertutur dan berperilaku.

Maka sekarang “penderitaan” para Ba Alawi baik-baik yang tidak menyukai Habib Bahar itu, kian bertambah akibat serangan para Gus Gahar. Dengan kata lain, Sadah Ba Alawi baik-baik itu, babak belur diserang dari tiga arah: Habib Bahar cs, RA di bawah Habib Taufik Assegaff, dan Gus Gahar cs).

Namun penderitaan itu tidak berhenti sampai di situ. Sejak Habib Bahar bin Smith—dengan kesombongannya yang nyaris menyundul langit ketujuh—menyambar penelitian Kiai Imad dengan berteriak bahwa Walisongo tak punya keturunan, serangan kepada Ba Alawi bukan hanya pada masalah keabsahan nasab, melainkan melebar tak tentu arah.

Kubu Gus Gahar terbakar amarah, mengobarkan kebencian dan permusuhan kepada seluruh Ba Alawi (bukan hanya kepada Habib Bahar cs saja).

Dengan kalimat-kalimat kasar ala Habib Bahar, secara massif mereka mengkampanyekan bahwa Ba Alawi adalah kaum yang buruk. Mereka memframing banyak hal untuk mengarahkan pada kesan bahwa Ba Alawi merupakan pendusta, pengkhianat bangsa, antek-antek Belanda, pendatang, penjual nasab, bukan pribumi, penjajah, dan ujaran jahat lainnya.

Wajah Habib Bahar dkk yang memenuhi benak para Gus Gahar membuat mereka lupa diri, terbakar api amarah. Obyektifitas dan rasionalitas para oknum Gus itu menjadi hangus. Kemarahan yang memuncak kepada Habib Bahar cs membuat para Gus Gahar itu menjadi kalap dan gelap mata; mereka ingin membatalkan nasab seluruh Ba Alawi, termasuk para Ba Alawi yang saleh dan berakhlakul karimah seperti Habib Luthfty bin Yahya, Prof. Quraish Shihab, Habib Jindan bin Novel dll.

Lalu para Gus Gahar itu merasa diri merekalah yang paling dzuriyah Nabi dan yang paling pribumi serta pemilik tunggal negara ini. Mereka bersikukuh bahwa secara catatan nasab dan tes DNA, merekalah yang terbukti sebagai keturunan Nabi.

Dengan angkuh mereka bicara soal DNA seolah-olah mereka itu merupakan para pakar geneologi molekuler. Padahal DNA merupakan persoalan yang sangat kompleks dan tidak sesederhana itu untuk melacak kakek moyang yang berjarak ratusan bahkan seribu tahun lebih. Lagi pula, apa perlunya memaksa orang untuk melakukan tes DNA? Pada dasarnya setiap orang bebas mengaku sebagai dzuriyah Nabi atau keturunan siapa pun, tanpa ada kewajiban untuk membuktikan. Dan setiap orang bebas untuk mempercayai atau tidak mempercayainya.

Para oknum Gus Gahar itu mengumbar kebencian kepada Ba Alawi dan menyemburkan ujaran-ujaran rasis yang provokatif dan adu domba. Dengan demikian, para oknum gus yang merupakan dzuriyah Walisongo yang nasabnya tersambung ke Rasulullah itu, terjerumus ke dalam keangkuhan. Akhlak dan adab mereka tidak mencerminkan kemuliaan Walisongo, melainkan justru menyerupai keburukan akhlak Habib Bahar bin Smith cs.

Sebagaimana Habib Bahar bin Smith cs yang tidak mencerminkan akhlak leluhurnya sebagai penganut Tarekat Alawiyah, adab para Gus Gahar itu juga jauh dari apa yang dicontohkan oleh para kiai sepuh, guru-guru, dan para pendahulu mereka yang penuh kemuliaan secara sanad keilmuan dan nasab.

Para oknum Gus Gahar itu benar-benar telah tertulari adab buruk dan kesombongan Habib Bahar bin Smith. Dengan demikian, secara tidak langsung mereka merupakan pengikut Tarekat Bahariyah. Sanad ekstremitas dan keangkuhan mereka bersambung ke Habib Bahar bin Smith.

Habib Bahar cs dan Gus Gahar cs bertengkar berbulan-bulan, mati-matian saling membatalkan nasab lawan. Segala cara digunakan, bahkan yang menggelikan dan memalukan.

Di antara yang menggelikan dan memalukan itu adalah: pertama, Habib Bahar dan Habib Rizieq cs meminta keturunan Walisongo (selama ini dikenal sebagai marga Azzamat Khan) agar datang ke Rabithah Alawiyah (RA) apabila mereka merasa sebagai sayyid atau syarif. Jika RA mengkonfirmasi maka mereka akan diakui sebagai dzuriyah Nabi, jika tidak maka mereka bukan sayyid atau syarif.

Ini sungguh lucu. Sejak kapan RA dinilai sebagai pengesah tunggal kesayidan dan bukan kesayidan seseorang di Indonesia? Apakah Habib Bahar dan Habib Rizieq tidak tahu bahwa RA hanya memiliki catatan silsilah dari jalur Muhammad Faqih Muqadam saja (plus beberapa marga dari Alwi Amul Faqih dan juga satu dua marga Al-Hasani yang kebetulan leluhurnya berhijrah ke Hadramaut)?

RA hanya bisa mengkonfirmasi kesayyidan seseorang berdasarkan data yang mereka miliki saja, dan itu terbatas.
Berapa banyak keluarga Ba Alawi dari marga Assegaf, Alhabsyi, Alaydrus dll–terutama dari luar Jawa–yang gagal memperoleh konfirmasi (tidak mendapatkan buku nasab) dari RA karena Maktab Daimi RA tidak memiliki data silsilah mereka?

Maka sungguh jenaka jika lembaga pencatatan nasab yang mengkhususkan diri pada jalur Muhammad Faqih Muqaddam (dan itu pun belum mampu menjangkau keseluruhan keturunannya yang di luar Jawa dan daerah terpencil) dianggap sebagai satu-satunya lembaga yang bisa mengesahkan kesayidan seseorang.

Jutaan sayyid di Indonesia dari jalur di luar Muhammad Faqih Muqaddam, baik dari jalur Alwi Amul Faqih (Azzamat Khan) maupun dari jalur lainnya, yang silsilahnya tidak tercatat di RA, bukan berarti mereka bukan sayyid.

Hal ini bahkan diutarakan sendiri oleh pihak RA. Dalam acara halaqah bulanan pada masa kepemimpinan Almarhum Habib Zein bin Smith yang lembut, ketua Maktab Daimi mengatakan dengan tegas bahwa yang tidak ada catatannya di RA bukan berarti bukan sayyid.

Beliau menambahkan bahwa sambil terus menambah dan mencari data baru, RA menyerahkan urusan nasab yang tidak tercatat di RA itu, kepada pihak kerabat masing-masing (baik itu dzuriyah Walisongo/Azzamat Khan maupun marga Assegaf, Alhabsyi dll dari luar Jawa dan daerah terpencil).

Maka sungguh menggelikan dan memalukan jika kemudian Habib Bahar mengatakan bahwa dzuriyah Walisongo terputus dan meminta mereka datang ke RA untuk konfirmasi silsilah kesayidan mereka. Habib Bahar bin Smith telah mempertontonkan kejahilan tingkat tinggi.

Kedua, para oknum Gus Gahar itu berteriak-teriak bahwa diri mereka merupakan pribumi. Ini juga sesuatu yang memalukan. Mereka tidak paham bahwa pribumi merupakan penggolongan yang diciptakan oleh kolonial Belanda untuk kepentingan mereka. Istilah itu sudah tidak relevan lagi bagi kondisi sekarang.

Negara bahkan telah menerbitkan aturan berupa undang-undang dan inpres yang melarang penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi demi menegakkan kesetaraan hak dan kewajiban semua warga bangsa. Penggolongan kelas pribumi dan non-pribumi tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan fakta sejarah di mana bangsa Indonesia merupakan percampuran berbagai macam ras dari wilayah Afrika, China, India, Arab, Champa, dll.

Jadi, ketika mereka mengolok-olok Ba Alawi (termasuk Habib Luthfy bin Yahya, Prof. Quraish Shihab, Habib Jindan bin Novel dll) sebagai keturunan imigran, maka sesungguhnya para oknum Gus Gahar itu sedang mempertontonkan kebencian berdasarkan ras dan etnis, yang jelas-jelas dilarang oleh UU negara karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Imam Ubaidillah

Selama ratusan tahun dzuriyah Walisongo (dikenal dengan sebutan “habib mastur”) menisbatkan nasab mereka ke Abdul Malik Azzamat Khan yang bersambung ke Alwi Ammul Faqih yang bersambung ke Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir. Dengan kata lain, poro habib dan poro kiai itu, dengan peran dan gaya budayanya masing-masing, merupakan keluarga besar Ba Alawi Al-Husaini.

Hal ini berjalan aman-aman saja. Hubungan antara “Ba Alawi Ula” dan “Ba Alawi Tsani” ini terjalin harmonis selama berabad-abad. Ba Alawi Ula (Walisongo) datang ke Nusantara menyebarkan Islam, Ba Alawi Tsani yang datang kemudian, melengkapi dan memperkaya; berkelindan dan berhibrida.

Maka saat dzuriyah Ba Alawi Ula mendirikan jami’yah Nahdatul Ulama, sebagian sanad ilmunya tetap memiliki keterkaitan dengan Ba Alawi Tsani.

Secara kultural keagamaan, Nahdliyin berkelindan dengan Ba Alawi Tsani melalui tradisi pembacaan maulid, Ratibul Haddad, Simtud Durror, dan Wirdul Latif yang merupakan karya-karya Ba Alawi Tsani. Dengan demikian sesungguhnya poro kiai dan poro habib itu satu batang tubuh. Mereka saling belajar, saling menjadi guru dan murid.

Di tingkat lembaga, hubungan itu juga baik, terbukti dengan komunikasi dan saling kunjung antara Rabithah Alawiyah dan Dzuriyah Walisongo dari Cirebon dan Banten. Dan juga banyaknya habib yang menjadi pengurus NU.

Namun sejak kemunculan Habib Rizieq Shihab, Habib Bahar bin Smith cs, Kiai Imaduddin Usman, dan disusul dengan kelahiran Gus-gus Gahar pendukungnya, banyak fitnah bertebaran.

Menyusul pengumuman hasil “penelitian” Kiai Imad yang mengatakan bahwa Ubaidillah bukan anak Ahmad Al-Muhajir, sebagian dari Gus Gahar cepat-cepat berpindah kakek; mengaitkan nasab mereka kepada dua “jalur alternatif” yaitu Al-Jaelani Al-Hasani dan Al-Musawi Al Husaini. Padahal begitu berlimpah bukti dan jejak digital bahwa mereka sebelumnya mengakui dan menghormati Imam Ubaidillah sebagai kakek mereka.

Itu juga merupakan sesuatu yang tak kalah lucu dengan perbuatan Habib Bahar bin Smith cs.
Bagaimana silsilah keluarga tiba-tiba bisa berpindah-pindah jalur seperti itu? Bagaimana mereka bisa memisahkan diri dari kerabat mereka sesama dzuriyah Walisongo yang tetap konsisten berada di jalur Imam Ubaidillah?

“Ganti kakek” itu benar-benar peristiwa lucu dan membuktikan bahwa mereka (para kutu loncat nasab itu) sesungguhnya selama ini ragu dengan kakek-kakek mereka sendiri.

Jutaan dzuriyah Walisongo tetap konsisten di jalur kakek mereka yaitu Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Al-Muhajir Alhusaini (termasuk pihak keluarga resmi kesultanan Banten).

Banyak di antara dzuriyah Walisongo adalah para Gus dan kiai NU yang alim dan terhormat. Mereka mengecam perilaku buruk oknum habaib seperti Habib Bahar bin Smith dan mereka juga mengkritik Habib Taufik Assegaff, namun mereka tidak pernah meragukan Imam Ubaidillah. Buat para kiai sepuh dan gus yang terhormat itu, menyerang Imam Ubaidillah sama artinya dengan menyerang leluhur mereka sendiri (Abdul Malik Azzamat Khan) dan menggoyahkan landasan jami’yah NU yang berkelindan dengan ajaran para ulama, aulia dan keberkahan para solihin dari sadah Ba Alawi sebagaimana telah dijelaskan di atas. Bahkan ketum NU Gus Yahya dalam pidatonya soal hakikat NU baru-baru ini, juga mengutarakan soal ikatan batin itu.

Belum lagi jika ditambah dengan fakta banyaknya kiai-kiai NU di Jawa yang bermarga Basyaiban (yang dikenal sebagai habib mastur juga) yang tentu saja mereka akan menolak jika ada yang berupaya membatalkan keabsahan nasab Ba Alawi mengingat Basyaiban merupakan sadah dari jalur Imam Ubaidillah. Begitu juga dengan para kiai-kiai NU yang bermarga Bin Yahya.

Para kiai NU dan gus yang terpelajar dan terhormat merupakan penjaga benteng Nusantara, tentunya akan menolak gerakan Gus Gahar cs yang ekstrem, rasis, adu domba “pribumi vs non-pribumi”, habib vs kiai, dengan penuh kebencian dan keangkuhan itu.

Para kiai sepuh NU dan para gus yang terhormat, bersama tokoh-tokoh ulama Ba Alawi seperti Habib Luthfy bin Yahya, Prof. Quraish Shihab, Habib Jindan bin Novel dll, akan mempertahankan kesatuan dan persatuan NKRI dari rongrongan kesombongan Habib Bahar cs dan keangkuhan Gus Gahar cs.

Sesungguhnya Habib Bahar cs dan Gus Gahar cs hanyalah dua sisi dari koin yang sama. Mereka mengkapitalisasi nasab masing-masing untuk tujuan politik dan ekonomi.

Mereka para provokator dan pengadu domba anak bangsa. Kedua kubu radikal itu; Habib Bahar cs dan Gus Gahar cs sama-sama berkoar-koar sedang berjihad membela Islam dan NKRI. Padahal semua itu omong kosong; perilaku dan ucapan mereka jauh dari ajaran Islam, melenceng dari jiwa Nusantara dan bertentangan dengan semangat para pendiri bangsa.

Para Gus Gahar itu sedang berupaya membangun opini keji bahwa Ba Alawi (termasuk Habib Luthfy bin Yahya, Habib Jindan bin Novel, Almarhum Habib Soleh Alhamid Taggul, Almarhum Habib Anis Al-Habsyi Solo dll) merupakan keturunan imigran Yahudi Yaman antek-antek Belanda. Para Gus Gahar itu mengatakan bahwa gelar habib dan penghormatan umat Islam kepada para habaib merupakan rekayasa kolonial Belanda.

Para kiai, gus, dan habaib yang terpelajar dan terhormat , jelas merasa risih dengan gerakan para oknum Gus Gahar yang memecah belah bangsa dengan narasi-narasi rasis yang tidak beradab itu.

Pada dasarnya narasi para Gus Gahar itu melecehkan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Mbah Moen dan banyak kiai sepuh NU lainnya. Tanpa mereka sadari (atau disadari?) para Gus Gahar itu mengatakan bahwa para pendiri dan kiai NU merupakan orang-orang bodoh yang mudah ditipu oleh kolonial Belanda.
Dengan demikian sesungguhnya mereka sedang mengatakan bahwa NU merupakan jami’yah yang para pendiri dan kiai-kiai sepuhnya terkait secara geneologis dan teologis dengan Yahudi Yaman pemalsu nasab.

Meski cukup mengherankan ketika seorang pejabat Densus sowan ke rumah salah satu pentolan Gus Gahar di mana di hadapan sang tamu ia secara tanpa malu menyatakan akan melancarkan aksi rasisme terhadap bangsa Indonesia keturunan Arab (dan disusul kemudian dengan bergabungnya seorang cendekiawan dari BNPT yang selama ini dikenal sebagai aktifis toleransi dan kemanusiaan ke dalam kelompok Gus Gahar rasis ini), namun kita yakin narasi provokatif yang dilancarkan oleh Gus Gahar cs itu, yang tampak menginginkan terjadinya kekerasan di bumi Indonesia, akan ditolak oleh para kiai, gus, habaib, dan seluruh tokoh bangsa dari lintas suku serta agama.

Memang, meskipun semakin bisa dilihat ke mana arah politik dari gerakan para Gus Gahar cs itu (bermula dari soal keabsahan nasab Ba Alawi kemudian bergeser ke persoalan isu “pribumi dan non pribumi” dan bergeser lagi ke pembangunan opini bahwa Ba Alawi adalah keturunan imigran Yahudi Yaman yang merupakan pengkhianat bangsa dan antek-antek Belanda, dan bergeser lagi ke seruan-seruan bernada ancaman kepada komunitas habaib) namun kita yakin bahwa semua provokasi pecah belah bangsa–baik yang dilakukan oleh Habib Bahar cs maupun oleh Gus Gahar cs– akan berhadapan dengan NU dan Muhammadiyah serta seluruh elemen moderat pecinta persatuan bangsa dan negara.

Bangsa dan negara yang didirikan dengan keringat dan darah seluruh elemen dari berbagai suku dan agama; Jawa, Sunda, Arab, Tionghoa, Aceh, Bugis, Madura, Batak, Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Khonghuchu dll ini, tidak akan membiarkan kesombongan para oknum sayyid–baik yang bergelar habib maupun gus– menebarkan keresahan dan perpecahan di negara yang terberkati ini.

Dan Hahib Bahar cs dan Gus Gahar cs itu perlu tahu bahwa gerakan mereka pasti akan tertolak. Kecerdasan dan kebijakan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini, telah teruji mendeteksi dan menangkal ekstremisme dalam segala bentuknya; kanan maupun kiri.

Mayoritas masyarakat Indonesia bisa membedakan mana habib dan gus yang Bahar dan Gahar si pemecah belah bangsa, mana habib dan gus pecinta NKRI sejati yang layak untuk dihormati dan diikuti.

Sebagaimana yang disampaikan oleh ketua PCNU Jakarta Pusat Gus Syauifuddin dalam wawancara baru-baru ini: upaya mengadu domba antar kiai dan habib merupakan upaya untuk menghancurkan NU dan Indonesia. Dan ini juga selaras dengan apa yang telah disuarakan oleh Mbah Moen, Habib Luthfy bin Yahya dan beberapa kiai sepuh lainnya beberapa tahun yang lalu.

Dengan demikian, apa yang telah disampaikan oleh para tokoh NU dan habaib itu bisa diartikan: waspadai upaya adu domba yang dilakukan oleh oknum-oknum dari golongan manapun, baik yang bergelar Habib maupun Gus.

31 Mei 2023

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru

sakarya bayan escort escort adapazarı odunpazarı escort