Oleh: Husein Zein Alaydrus
INDONESIA TODAY ONLINE – Penggunaan istilah “Yang Mulia” untuk menyapa hakim sudah selayaknya dihapuskan dari sistem peradilan Indonesia. Gelar ini berlebihan, tidak mencerminkan semangat kesetaraan di hadapan hukum, dan justru menciptakan aura feodalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Hakim adalah pelayan publik, bukan sosok yang layak disematkan gelar kehormatan yang menjauhkan mereka dari prinsip demokrasi dan keadilan. Asas bahwa hakim adalah wakil Tuhan di dunia bukan berasal dari hukum positif Indonesia, melainkan merupakan asas historis-filosofis yang berkembang dalam tradisi hukum Eropa Kontinental (Civil Law), terutama dalam sistem monarki absolut dan teokratis masa lalu.
Namun, dalam hukum modern Indonesia, asas tersebut tidak dianut. Justru, sistem hukum kita menegaskan bahwa hakim adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka, bukan wakil Tuhan, melainkan pejabat negara yang mewakili negara dalam menjalankan fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945.
Panggilan seperti ini mendorong lahirnya sikap jumawa dan kesan bahwa hakim berada di atas warga negara lainnya, padahal mereka hanya menjalankan amanat undang-undang.
Lebih jauh, penggunaan istilah ini tidak selaras dengan semangat *Tap MPRS No. XXXI/MPRS/1966,* yang secara tegas menggantikan sebutan-sebutan seperti “Paduka Yang Mulia (P.Y.M.)”, “Yang Mulia (Y.M.)”, dan “Paduka Tuan (P.T.)” dengan sebutan yang lebih egaliter seperti “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari” . Ketetapan ini mencerminkan upaya untuk menghapuskan simbol-simbol feodalisme dalam penyelenggaraan negara dan mendorong budaya kesederhanaan serta kesetaraan di antara pejabat dan rakyat.
Sudah waktunya reformasi peradilan tidak hanya menyentuh substansi hukum, tetapi juga simbol dan tata cara dalam persidangan. Hakim adalah pelayan keadilan, bukan pemiliknya. Hormat harus diberikan karena integritas dan keteladanan moral, bukan karena balutan simbolik yang berlebihan.
Bandung, 13 Mei 2025