INDONESIA TODAY ONLINE – Ini bukan tayangan perdana. Kita seperti menyaksikan déjà vu politik. Ingatan kita belum sepenuhnya pudar pada pesona blusukan di ibu kota, sebuah “sinetron” kepemimpinan yang berhasil menjual tiket murah menuju kursi kekuasaan tertinggi. Namun, alih-alih akhir bahagia, sebagian penonton justru merasa menjadi korban plot twist yang pahit: ekonomi yang kian meradang dan pilar demokrasi yang kian keropos.
Sejak menginjakkan kaki di kursi gubernur, sang pemimpin langsung tancap gas, bak pembalap yang mencium garis finis. Langkah perdananya melarang tur sekolah demi meringankan beban finansial orang tua, sebuah kebijakan populis yang bak oase di tengah gurun keresahan ekonomi. Simpel, mudah dicerna, dan langsung menyentuh denyut nadi masyarakat. Namun, layaknya pedang bermata dua, kita patut bertanya: apakah kebijakan instan ini telah menimbang dampak jangka panjangnya? Bagaimana nasib sekolah yang telah menyusun kurikulum dengan studi tur? Atau sektor pariwisata lokal yang berpotensi merugi? Di sinilah letak keseimbangan yang rapuh antara tindakan populis dan kebijakan yang terukur.
Aksi blusukan sang gubernur pun menjadi pemandangan yang tak asing lagi. Menegur pejabat di hadapan publik, memungut sampah, hingga berinteraksi hangat dengan pedagang kaki lima menciptakan citra “pemimpin merakyat”, jauh dari kesan birokrat kaku. Apalagi, semua ini terekam dan tersebar luas di jagat maya, tanpa iring-iringan ajudan, namun selalu ditemani lensa kamera. Di era digital, setiap gerak-gerik pemimpin berpotensi menjadi konten. Pertanyaannya menggelitik: apakah ini representasi otentik dari kepemimpinan partisipatif, atau sekadar strategi political branding yang dirancang untuk viral?
Tentu, tak ada yang keliru dengan pemimpin yang aktif di media sosial. Namun, ketika setiap helaan napas kebaikan didokumentasikan, disunting, dan disajikan dengan narasi heroik, batas antara ketulusan dan promosi diri menjadi bias. Di era algoritma, konten yang relatable adalah mata uang politik yang paling menggiurkan, dan sang gubernur tampak memahami betul dinamika ini.
Para pendukung bersorak, “Inilah pemimpin yang dekat dengan rakyat, tanpa sekat protokoler!” Sementara itu, suara kritis berbisik, “Ini adalah pencitraan sistematis, sebuah scripted reality untuk membangun narasi ‘pemimpin rendah hati’.” Kedua perspektif ini memiliki validitasnya masing-masing. Blusukan tanpa pengawal bisa jadi manifestasi empati, namun dokumentasi yang terstruktur dan masif memunculkan tanda tanya: semua ini demi rakyat, atau demi engagement di media sosial?
Di tengah arus modernitas dan globalisasi, kita juga mendapati sentuhan “nativisme” dalam profil sang gubernur. Ini bisa diapresiasi sebagai upaya mulia untuk melestarikan kearifan lokal, mengangkat kekayaan budaya daerah, dan memperkuat identitas masyarakat. Namun, kewaspadaan tetap diperlukan agar penekanan pada kedaerahan ini tidak melampaui batas, menjelma menjadi lokalisme eksklusif, tribalisme sempit, atau bahkan primordialisme negatif yang justru merusak kohesi bangsa.
Terlepas dari segala spekulasi motif, gaya kepemimpinan sang gubernur layak dianalisis. Ia membuktikan bahwa politik kontemporer tak terlepas dari seni komunikasi visual. Ia juga memicu perdebatan penting: sejauh mana pejabat publik boleh mengekspos pekerjaan mereka? Transparansi memang esensial, namun ketika aksi sosial bertransformasi menjadi komoditas konten, apakah substansi pelayanan tidak tergerus oleh obsesi untuk menjadi trending?
Popularitas sang gubernur di media sosial tak terbantahkan. Namun, kita perlu mengingat bahwa popularitas bukanlah tolok ukur utama keberhasilan kebijakan. Sejarah mencatat, banyak pemimpin yang awalnya dipuja karena retorika dan citra, namun akhirnya terpuruk karena kebijakan mereka gagal menjawab tantangan zaman.
Fenomena ini mengingatkan kita pada kedalaman makna Surah Ad-Duha ayat 11: “Wa ammā bini’mati rabbika fa ḥaddiṡ”. Ayat yang sering disalahartikan sebagai anjuran untuk “pamer nikmat” ini, dalam tafsir yang lebih mendalam, justru mengajak kita untuk mengekspresikan rasa syukur secara nyata melalui tindakan. Bukan sekadar bercerita tentang nikmat yang kita terima, melainkan menunjukkan keberkahan nikmat itu melalui perbuatan konkret yang bermanfaat bagi sesama.
Maka, “berbicara tentang nikmat” dalam konteks kepemimpinan seharusnya bukan tentang mengunggah foto blusukan atau video menegur bawahan. Lebih dari itu, adalah tentang memanfaatkan kekuasaan untuk memperbaiki sistem yang rusak, menggunakan sumber daya untuk memberdayakan masyarakat, dan menginspirasi kebaikan melalui contoh nyata. Ini adalah pergeseran paradigma dari sekadar “melakukan kebaikan lalu mempublikasikannya” menjadi “menerima amanah sebagai nikmat, lalu mewujudkannya dalam tindakan produktif yang dirasakan manfaatnya oleh banyak orang”.
Di sinilah kita menemukan garis pemisah antara pamer kebaikan yang berpusat pada diri sendiri, dan mensyukuri nikmat Tuhan dengan berbuat kebaikan yang berpusat pada manfaat bagi orang lain. Islam dengan tegas melarang riya’, namun mendukung transparansi yang tulus dengan niat menginspirasi.
Mungkin, inilah wajah politik di era digital: pemimpin dinilai bukan hanya dari kebijakan yang dibuat, tetapi juga dari kemampuan membangun citra di ruang publik. Sang gubernur, dengan segala dinamika di sekelilingnya, adalah refleksi dari zaman ini. Mari kita apresiasi setiap inisiatif konkretnya, sambil terus mengajukan pertanyaan kritis: di balik estetika konten, adakah perubahan struktural yang benar-benar dirasakan oleh rakyat?
Sebagai penonton di panggung politik ini, kita hanya bisa menanti episode selanjutnya. Sebab, pada akhirnya, yang akan abadi bukanlah highlight reel di media sosial, melainkan dampak nyata yang dirasakan masyarakat dari setiap kebijakan dan tindakan sang pemimpin, dari generasi ke generasi. Stay tuned.
04052025