Mar 25, 2025
spot_img

“K.H. Imaduddin Utsman dan Kejahatan Sosial: Menabur Kebencian, Merusak Kedamaian.”

INDONESIA TODAY ONLINE – Sosialisasi kebencian dan provokasi SARA yang dilakukan oleh Kyai Imaduddin Utsman dan kelompoknya adalah tindakan tak terpuji yang mengancam kerukunan sosial. Tindakan ini tidak hanya menciptakan ketegangan di masyarakat, tetapi juga berpotensi memicu konflik antar kelompok yang merusak persatuan bangsa. Secara hukum, tindakan tersebut melanggar undang-undang terkait ujaran kebencian dan intoleransi, serta dikategorikan sebagai kejahatan sosial yang serius.

Dalam konteks ini, peran masyarakat sipil sangat penting untuk melawan segala bentuk diskriminasi dan intoleransi. Civil society harus bersatu dalam mempromosikan nilai-nilai kebhinekaan, menghormati perbedaan, dan menjaga kedamaian di antara sesama warga bangsa. Upaya bersama untuk melawan kebencian ini menjadi kunci untuk memastikan keutuhan dan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

PELANGGARAN VERSUS KEJAHATAN

Sebuah Analisis Terkait Gerombolan Penjahat Nasab

Masalah kebencian terhadap Ba’alawi dan provokasi berbasis SARA yang marak belakangan ini mencerminkan potensi konflik sosial yang serius, sekaligus merupakan tindakan pidana.

Fenomena ini, meski mungkin dipicu oleh beberapa oknum Habib yang melakukan pelanggaran, tidak bisa semata-mata dianalisis dengan kaidah hubungan sebab-akibat klasik seperti “tidak ada asap jika tidak ada api.” Propaganda berbasis fitnah dan adu domba di kalangan umat Islam, khususnya oleh pihak  “gerombolan begal nasab,” justru menunjukkan pola kejahatan yang sistematis untuk merusak harmoni sosial dan nilai kebhinekaan.

Generalisasi sering tidak akurat dan bias, juga mengabaikan keberagaman dan kompleksitas dalam sebuah kelompok, yang dapat menyebabkan stereotip, intoleransi dan diskriminasi.

Menilai oknum secara terus-menerus memang melelahkan. Sebagai negara hukum, setiap pelanggaran sebaiknya dilaporkan kepada pihak berwenang agar ditangani sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Pendekatan menyalahkan kelompok tertentu secara kolektif atas tindakan segelintir individu justru memperburuk situasi. Selain itu, narasi kebencian semacam ini berpotensi mela,phirkan spiral konflik yang merugikan seluruh masyarakat.

Strategi Penyelesaian Polemik Nasab Ba’alawi: Sebuah Solusi Alternatif

Polemik mengenai nasab Ba’alawi yang telah berlangsung lebih dari dua tahun telah menciptakan sejumlah kegaduhan dan insiden yang meskipun dalam skala kecil, berdampak signifikan terhadap harmoni sosial. Peristiwa ini diperparah dengan adanya tindakan provokasi berbasis SARA, penyebaran kebencian, dan ketegangan yang mengancam kerukunan masyarakat.

Salah satu figur yang dianggap sebagai tokoh sentral dalam polemik ini adalah Haji Imaduddin Utsman. Tindakannya yang dianggap sebagai pemicu utama dapat dikategorikan sebagai kejahatan sosial (social crimes). Sebagai tokoh yang dianggap ulama, ia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga persatuan umat, namun justru diduga memanfaatkan isu sensitif untuk kepentingan tertentu, sehingga menciptakan perpecahan di tengah masyarakat.

Perspektif Hukum

1. Beban Pembuktian pada Penuduh

Dalam hukum positif dikenal prinsip actori incumbit probatio yang berarti bahwa beban pembuktian berada pada pihak yang mengajukan tuduhan atau klaim. Dalam kasus ini, Haji Imaduddin Utsman yang mengklaim bahwa nasab Ba’alawi terputus harus memberikan bukti yang kuat dan otentik atas tuduhannya. Tanpa bukti yang sahih, klaim tersebut tidak dapat dianggap valid menurut hukum.

2. Dampak Hukum Pidana

Tuduhan terkait nasab yang menyangkut identitas keluarga besar tertentu dapat dikategorikan penghinaan terhadap kelompok berdasarkan agama, ras, atau golongan tertentu disebutkan pada Pasal 156 KUHP.

Komunitas dapat menuntut secara pidana atas pencemaran nama baik, perwakilan komunitas (misalnya, ketua atau pengurus) biasanya harus mengidentifikasi diri sebagai pihak yang merasa dirugikan.

Apabila individu anggota komunitas tertentu merasa tercemar, individu tersebut dapat mengajukan laporan berdasarkan Pasal 310 KUHP atas nama dirinya sendiri.

Lebih jauh lagi, tindakan provokasi, penyebaran kebencian, dan penghasutan berbasis SARA dapat dijerat Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang melarang penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan.

3. Keamanan Sosial dan Ketertiban Umum

Polemik yang berkepanjangan ini telah memunculkan insiden-insiden kecil serta berpeluang konflik berbasis SARA. Hal ini berpotensi mengganggu keamanan sosial. Berdasarkan Pasal 170 KUHP, tindakan yang mengganggu ketertiban umum atau memprovokasi tindakan kerusuhan dapat dikenai sanksi hukum pidana.

4. Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

Pasal dalam UU ini sangat relevan jika terkait provokasi SARA,  pasal ini lebih spesifik karena mengatur langsung soal diskriminasi rasial dan etnis.

Pasal 4 UU No. 40 Tahun 2008:

Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sehingga menimbulkan diskriminasi, permusuhan, kekerasan, atau perpecahan, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.

Penyelesaian Non-Litigasi

1. Penyelenggaraan Seminar Internasional

Langkah yang disarankan adalah menyelenggarakan seminar Internasional yang melibatkan lima Naqobah dunia sebagai representasi komunitas Asyraf global. Ini bertujuan untuk membahas nasab Ba’alawi secara akademik dan ilmiah dengan memanfaatkan dokumen sejarah, referensi genealogis, dan prinsip syariat Islam.

Manfaatnya:

-Mendorong diskusi berbasis data dan fakta.

-Menghadirkan perspektif dari berbagai wilayah dan sudut pandang, sehingga lebih objektif.

-Mengurangi potensi konflik dengan pendekatan dialogis.

2. Pendekatan Mediasi dan Rekonsiliasi

Kesultanan Banten dan Rabithah Alawiyah sudah berupaya memfasilitasi dialog. Namun, penolakan dari pihak Haji Imaduddin menunjukkan kurangnya itikad baik untuk menyelesaikan masalah. Jika pendekatan mediasi kembali ditawarkan, maka:

-Harus disertai komitmen tertulis dari para pihak.

-Dikelola oleh mediator profesional yang independen.

-Hasil mediasi diumumkan secara transparan untuk menghindari spekulasi.

3. Sosialisasi Anti-Provokasi SARA

Pemerintah atau tokoh masyarakat dapat menggencarkan edukasi anti-provokasi melalui seminar lokal, pelatihan toleransi, dan dialog antar-umat. Hal ini bertujuan untuk meredam kebencian yang sudah berkembang di masyarakat akibat polemik ini.

Haji Imaduddin Utsman, sebagai penuduh. dan tokoh utama polemik nasab ini memikul tanggung jawab pembuktian. Apabila gagal membuktikan, tuduhannya tidak hanya kehilangan legitimasi tetapi juga berpotensi berimplikasi hukum.

Penyelesaian non-litigasi melalui seminar internasional dan mediasi adalah cara terbaik untuk meredakan konflik tanpa memperbesar eskalasi. Namun, pendekatan ini membutuhkan komitmen kuat dari semua pihak, termasuk Haji Imaduddin Utsman, untuk bersikap kooperatif dan bertanggung jawab secara hukum maupun moral. Semoga langkah ini membawa kebaikan bagi semua pihak.

Cibubur, 20 Januari 2025

Forkom Alawiyyin Indonesia

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Berita Terbaru

sakarya bayan escort escort adapazarı odunpazarı escort